MRT NO, BUSWAY YES

.
Entah kenapa saya tak begitu setuju dengan pembangunan MRT atau Mass Rapid Transit. Apalagi pembangunan jalur MRT makan biaya yang cukup besar sekitar 16 triliun, sedang efektifitasnya mengurai kemacetan pun hanya sebatas jalur Lebak Bulus hingga Dukuh Atas, sedang titik kemacetan Jakarta hampir di seluruh wilayah Jakarta seperti Kali Malang, Pancoran, Pasar Minggu, Tanah Abang, dan sebagainya.


Saya pun tak habis pikir kenapa proyek MRT begitu antusias dicanangkan, yang katanya dapat beroperasi sekitar tahun 2016 padahal Jakarta diprediksi akan macet total di tahun 2014. Bagi saya, MRT cuma proyek ambisus yang hanya buang-buang anggaran negara saja, percuma. Kenapa proyek monorail yang dulu tak diteruskan padahal tiang-tiang penyangga jalur monorail sudah ada yang terpasang di beberapa tempat. Kalau mau, contohlah Kuala Lumpur, mereka lebih suka mengintegrasikan monorail, kereta, dan bus untuk sarana transportasi mereka. Hasilnya, sistem transportasi di Kuala Lumpur lebih nyaman, aman, dan murah. Kemacetan pun hampir tak ditemukan di ibukota Malaysia tersebut. Mereka pun tak antusias dengan MRT kalau sarana transportasi umum yang ada lebih menunjang dan bisa diperbaiki.



Saya juga tak habis pikir, masalah kemacetan Jakarta sebenarnya bisa diatasi asal para pengguna kenderaan pribadi seperti mobil dan motor mau beralih secara sukarela ke penggunaan transportasi umum seperti angkot, busway, KRL atau Commuterline. Namun apa daya, mereka tak rela beralih ke transportasi umum yang ada karena dianggap tak aman, tak nyaman, penuh penderitaan, kumuh, dan mahal. Apalagi kasus-kasus kejahatan di kendaraan umum makin sering terjadi hingga menciutkan nyali para pengguna kendaraan pribadi. Seandainya pemerintah punya niat untuk memperbaiki sarana transportasi umum tersebut, saya yakin pengguna kendaraan pribadi secara sukarela akan mau beralih ke transportasi umum.

Sayangnya, saya tak menemukan niat tersebut. Transportasi yang saya temukan tetap sama seperti yang dulu-dulu. KRL ekonomi makin hancur, para penumpang tetap berdesakan hingga sampai di atas gerbong. Jangankan bisa duduk dengan nyaman, untuk mendapat ruang yang lega di gerbong kereta pun sulit untuk didapatkan, selalu berdesak-desakan bila di jam-jam sibuk. Demikian pula dengan commuterline, sering berdesak-desakan ketika jam-jam pergi dan pulang dari kantor, bahkan pintu kereta ber-AC tersebut sering dibuka paksa oleh penumpang karena padatnya di dalam kereta.

Busway pun setali tiga uang, proyek ambisius di era Sutiyoso itu bukannya makin profesional, tapi makin tak terurus saja. Busway tak lagi nyaman dinaiki, AC yang dulu dingin kini tak lagi sedingin dulu. Jumlah penumpang yang makin bertambah tak sebanding dengan jumlah busway yang tersedia. Jadi tak heran kalau di dalam busway yang makin panas itu para penumpangnya berdesak-desakan. Jangan tanya lagi ketika jam-jam pergi atau pulang kantor. Di hari libur pun busway selalu padat penumpang terutama di koridor-koridor yang mengarah pada tempat-tempat wisata. Bahkan di halte-halte busway sering terjadi penumpukan penumpang.

Saya pun jadi heran sendiri, kenapa pemerintah daerah (pemda) DKI Jakarta tak membenahi busway saja agar lebih disukai penduduk Jakarta dan sekitarnya ketimbang membangun MRT yang menelan biaya hingga triliunan rupiah itu. Padahal jumlah koridor yang dimiliki busway sudah hampir menjangkau seluruh wilayah Jakarta. Saya pun yakin, kalau busway dibuat nyaman, aman, dan murah, para pengguna kendaraan pribadi akan mau beralih ke kendaraan massal tersebut. Busway juga bisa diintegrasikan dengan KRL dan kendaraan umum lainnya.

Menurut saya pribadi, MRT bukanlah solusi mengatasi macet Jakarta, seharusnya pemda DKI sadar itu. Saran saya untuk para calon gubernur DKI atau siapalah nanti yang akan mimpin Jakarta, benahi saja busway dan KRL agar lebih menarik minat para pengguna kendaraan pribadi. Kalau ditanya secara pribadi mau pilih MRT atau busway, tentu saya akan jawab, “MRT no, busway yes”.

Catatan:
Tulisan ini pernah saya posting di Kompasiana

3 comments: