SUATU PAGI DI FRANKFURT AM MAIN

.
Pagi subuh itu, udara dingin langsung menusuk kulitku, menembus celah-celah pori hingga menyentuh daging di bawahnya, dingin sekali. Sepasang sarung tangan yang telah kukenakan tak mampu menghalau dingin itu. Dingin yang tak biasa dan membuatku seperti berada dalam sebuah lemari pendingin. Berbeda dengan dingin di negeriku, yang terletak nun jauh di ujung timur bumi ini. Negeri pulau yang bertanah subur, yang penduduknya dikata ramah. Aku pun langsung tersenyum mengingat itu.


Baru beberapa saat lalu, roda-roda dari sang burung besi menjejakkan kakinya di negeri sang kanselir. Inilah kali pertama aku berada di negeri si Tuan Hitler. Sungguh tak bisa dipercaya, anganku yang menghantui keinginanku selama ini bisa terwujud. Tadinya, aku hanya bisa menyaksikan negeri maju itu lewat layar kaca, lewat majalah, atau lewat kartu pos yang pernah dikirim oleh teman kakakku.

Kini, aku benar-benar menjejakkan kaki di tanahnya, mencium aroma udaranya, dan merasakan hawa dinginnya yang sangat menusuk.

Bandar Udara Frankfurt am Main masih terlihat sepi, tak banyak aktivitas di pagi buta itu. Hanya para penumpang saja yang membuat suara gaduh saat mengambil tas-tas mereka di baggage claim. Usai pemeriksaan keimigrasian, aku benar-benar menghirup udara asing, yang lebih dingin dari biasanya.

Deretan toko-toko di dalam bandara masih menutup gerainya. Ada sebuah sex shop yang menarik perhatianku. Wajar memang bisa menarik perhatianku, toko semacam itu tak bakal bisa kutemukan di negeriku yang katanya serba santun itu. Sayangnya, masih tutup. Kalau tidak, aku sudah masuk ke dalamnya, membuka-buka majalah Playboy, Penthouse, atau mencoba-coba peralatan sex yang dijajakan. Pikiranku rasanya seperti seekor burung yang lepas dari sangkarnya. “Dasar otak ngeres”, kata teman seperjalananku sambil senyum-senyum saat melihatku memelototi etalase toko sex tersebut tanpa berkedip.

Tak lama, seorang pemandu menghampiri kami. Dialah yang akan membawa kami keliling Frankfurt dan kota-kota lainnya di Jerman. Dia menyapa kami dengan ramah, berbicara sebentar dengan bos saya, dan menyapa kami satu per satu. Ternyata, keramahan itu tak hanya milik negeriku. Sang pemandu pun membawa kami menuju sebuah bis, yang sudah menunggu di luar bandara. Kulihat deretan taxi bermerk Merci berwarna putih diparkir di sekitar bandara. Kaget? Tentu saja kaget. Taxi di negeriku lebih banyak bermerk Jepang atau Korea.

Kami pun sudah berada dalam bis yang mewah, sebuah big bus yang hanya berisi kami bertujuh. Kota Frankfurt masih sepi, geliat penduduknya belum terlihat di pagi subuh itu. Bis pun membawa kami ke arah pusat kota, menuju gedung opera, rumah Goethe, dan Romerplatz. Pagi itu memang menyenangkan dan tak pernah kulupa hingga kini. Dan itu baru sebuah awal perjalanan.

Tulisan ini sudah saya posting di Kompasiana

0 comments:

Post a Comment