PAK HARI MEMBECAK SEJAK ERA GESTAPU

.
Saat dinas ke Malang tanggal 23-24 September kemarin, sebelum take off kembali ke Jakarta, saya ambil waktu untuk berjalan kaki menikmati keramaian pusat Kota Malang di siang hari yang terik. Dimulai dari jalan Kahuripan, saya telusuri Tugu Malang, Balai Kota, hingga Gereja Kayutangan. Kemudian saya mampir sejenak di Toko Oen untuk makan siang, menikmati Sop Krim Asparagus Kepiting di restoran peninggalan Belanda tersebut.

Selesai itu, saya lirik jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 12.45, sejam lagi saya harus check in di Bandara Abdulrachman Saleh. Walau waktu tempuh ke bandara sekitar setengah jam dari pusat kota, tapi saya tetap merasa khawatir juga, karena saya belum tahu situasi jalan raya di Malang. Maklumlah, saya baru pertama kali itu mengunjungi Malang.

Usai makan siang di Toko Oen, saya pun bergegas ke bandara, menyeberang jalan dan menunggu taxi di depan Gereja Kayutangan. Gereja tua ini berada tepat di depan Toko Oen. Seorang penarik becak menawarkan jasanya, dia kira saya ingin berkeliling kota Malang. Saya hanya menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan. Hampir seperempat jam saya menunggu taxi, namun tak ada satu pun yang lewat. Kalaupun ada, taxi sudah berisi penumpang. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang lebih sedikit.

Akhirnya, saya pun bertanya pada sang penarik becak tadi, seorang Bapak tua. Saya menanyakan padanya apakah taxi memang jarang lewat di jalur protokol tersebut. Si Bapak pun merespon cepat, katanya taxi memang jarang lewat di jalanan. Biasanya, mereka ngumpul di pasar atau di tempat-tempat penginapan seperti hotel. Kalaupun ada yang lewat, taxi sudah berisi penumpang. Saya sudah membuktikan ucapan si Bapak tersebut, dalam waktu seperempat jam menunggu taxi, tak ada satu pun yang mau berhenti, apalagi menawarkan jasa taxi-nya seperti di Jakarta. Jadi, percuma menunggu di pinggir jalan, buang waktu. Si Bapak Penarik Becak pun menyarankan saya untuk mencari taxi di Pasar Besar Malang sembari menawarkan jasa becaknya.

Tanpa pikir panjang lagi, saya pun langsung menyetujui saran sang Bapak. Setelah deal ongkos jasa becak sebesar 7000 rupiah, saya segera naik ke atas becak. Si Bapak pun mulai menggenjot becaknya dan mengayuhnya menelusuri keramaian jalan menuju Pasar Besar.

Sepanjang perjalanan, si Bapak tak hentinya bertanya pada saya. Sambil menepuk bahu saya berkali-kali, si Bapak bertanya pada saya mau pergi kemana. Saya jawab, “Mau ke bandara, lapangan terbang, menuju Jakarta”. Dia tanya lagi sambil menepuk bahu saya kembali, “Berapa ongkos naik pesawat ke Jakarta Pak?”. Saya jawab, “sekitar 600 ribu Pak”. Mendengar jawaban saya dia kaget. “Waduh Pak, 600 ribu?”, ulangnya lagi. “Saya tak bakal bisa Pak bayar duit segitu banyak buat naek pesawat”, jawabnya memelas.

Tak lama, dia pun berkata lagi, “Ke Jakarta saya belum pernah Pak, ke Surabaya pun saya belum pernah, saya cukup menjadi penjaga Malang saja Pak”, sambil tertawa dia berkata itu. “Jakarta seperti apa ya Pak, rame ya Pak”, tanyanya lagi. Saya jawab, “Jakarta rame Pak, sering macet”. Pertanyaannya terus berlanjut, “Di istana banyak tamunya ya Pak”. Saya jawab, “Iya Pak, istana banyak tamu, para pejabat asing Pak”.

Tiba di Pasar Besar Malang, ternyata taxi belum ada yang mangkal, sedang calon penumpang sudah ada yang menunggu. Saya pesimis bisa mendapatkan taxi dengan cepat kalau ikut menunggu. Saya langsung minta si Bapak untuk berkeliling lagi, menelusuri jalan, dan berjanji untuk menambah ongkos dari yang sudah disepakati semula.

Sebelum si Bapak bertanya kembali, saya balik tanya ke dia, “Nama Bapak Siapa?”. Dia jawab, “Pak Hari, Pak”. Saya tanya lagi, “Usia Bapak sekarang berapa?”. Sambil memelankan suaranya Pak Hari menjawab sembari tertawa, “Jangan bilang ke siapa-siapa ya Pak, nanti denger malaikat, usia saya sudah 75 Pak”. Mendengar jawabannya itu, tentu saja saya kaget. Di usia renta itu, Pak Hari masih menggenjot becak demi sesuap nasi. Beda jauh sama seorang pensiunan pejabat yang mendapat banyak fasilitas dan kemewahan. Untungnya, Pak Hari masih kelihatan sehat dan punya cukup tenaga untuk membawa saya menelusuri jalan dengan becaknya.

Saya pun bertanya lagi, “Anak Pak Hari ada berapa?”. “Tujuh Pak, lima sudah menikah, dua belum”, jawab Pak Hari. Saya tak bertanya lebih lanjut tentang anak-anak Pak Hari. Dalam hati saya hanya menebak kalau anak-anak Pak Hari juga hidup susah. Kalau tak hidup susah pasti anak-anaknya tak membiarkan Pak Hari menggenjot becak di usia senjanya. Saya tanya lagi, “Sejak kapan Bapak tarik becak, mulainya kapan Pak?. Pak Hari menjawab, “Sejak jaman Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) Pak”. Berarti sudah sekitar 45 tahun Pak Hari menekuni profesi membecaknya, tanpa ada perubahan nasib. Saya pun tak melanjutkan pertanyaan lagi.

Tiba-tiba, Pak Hari kembali menepuk pundak saya sembari menggenjot becaknya. Dia bertanya lagi, “Pak, Pak, di Jakarta susah tidak cari gas sama minyak tanah”. Saya jawab, “Tidak Pak, gas sama minyak tanah masih mudah dicari”. Pak Hari langsung menyambung, “Kalau di Malang susah Pak, gas sama minyak tanah jarang, saya harus berkeliling untuk carinya, sering habis”, ujar Pak Hari memelas.

Tak lama, saat tiba di Pasar Ramayana, tak jauh dari Olino Garden Hotel, sebuah taxi sedang mangkal di pasar itu. Pak Hari langsung menyalip taxi tersebut dengan becaknya, padahal si taxi tak bakal berlalu. “Taxi … taxi … taxi”, teriak Pak Hari. Pak Hari menghentikan becaknya tepat di depan taxi. Saya pun langsung bayar Pak Hari, 15 ribu. Pak Hari tampak kaget. “Banyak sekali Pak bayarnya”, kata Pak Hari gembira. Mendengar ucapannya saya hanya tersenyum. Saya berpikir, uang segitu bagi sebagian besar orang masih terasa kecil, terutama yang hidup di kota metropolitan Jakarta. Namun bagi Pak Hari, itu sungguh berarti.

Catatan:
Tulisan ini sudah pernah saya posting di blog Kompasiana:
http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/09/29/pak-hari-menggenjot-becak-sejak-zaman-gestapu/


0 comments:

Post a Comment