Margonda memang biangnya macet. Saban hari, jalan utama di Kota Depok itu selalu macet, apalagi kalau jam-jam pergi kerja dan pulang kerja. Maklum saja, warga Depok kebanyakan ngantor di Jakarta. Apalagi jalan tersebut menjadi lintasan utama ke daerah-daerah lain seperti Citayam, Sawangan, Parung, hingga Cinere. Namun, walau suka macet dan menjengkelkan, Jalan Margonda Depok banyak menyajikan hal-hal menarik, terutama sajian kuliner yang tak ada habisnya. Itulah yang membuat Margonda punya magnet sendiri untuk mengajak orang kembali berkunjung ke tempat itu.
Secara geografis, letak Kota Depok memang tak jauh dari pusat Jakarta. Hampir semua sarana transportasi bisa digunakan, kecuali pesawat tentunya. Rute angkutan umum dari Jakarta menuju Depok pun banyak, demikian pula kereta. Kalau Anda tak mau terjebak macet di Jalan Margonda Raya, Anda bisa menggunakan kereta kalau ingin berkunjung ke Depok. Ada empat stasiun kereta yang bisa Anda gunakan untuk pelesiran ke Depok, yaitu Stasiun UI (Universitas Indonesia), Pondok Cina (Pocin), Depok Baru, dan Stasiun Depok Lama. Keempat stasiun itu bisa menghubungkan Anda ke berbagai tempat menarik di Kota Depok.
Jalan Margonda Raya banyak menyajikan sajian khas berselera, ibaratnya seperti Malioboro Yogyakarta. Bedanya, Malioboro tetap ramah terhadap pejalan kaki. Kalau di Margonda, pejalan kaki dianaktirikan. Jujur saja, berjalan kaki di sepanjang jalan selebar 25 meter dan panjang 5,2 km tersebut memang kurang asyik karena minim trotoar dan tak nyaman dilalui, malah beberapa bagian jalan tak punya trotoar. Apalagi kalau mau menyeberang, susahnya minta ampun, banyak kendaraan yang lalu lalang. Jembatan penyeberangan orang (JPO) yang tersedia di Jalan Margonda cuma ada dua, di depan Margo City atau Detos (Depok Town Square) dan di depan terminal atau Depok Plaza. Jarak antara dua jembatan tersebut pun jauh, sekitar hampir 3 kilo. Mau tak mau, orang-orang pun ambil jalan pintas, nyebrang di sembarang tempat, meski risiko tertabrak siap menghadang.
Walau Jalan Margonda banyak kekurangan, namun kawasan itu tetaplah punya magnet, terutama bagi mereka yang suka makan. Bayangkan, di sepanjang Margonda, mulai warung-warung kaki lima, resto-resto menengah, hingga cafe-cafe kelas atas banyak menyajikan berbagai jenis makanan. Beberapa di antara mereka layak dikunjungi.
Pertama, WARUNG ES POCONG, warung ini punya menu yang aneh-aneh, semuanya serba nama hantu, biar berkesan mistis gitu, ada Green Goblin (es jeruk limau), Kuntilanak (es Kopyor dan soda susu), Vodoo (mangga Gedong dan soda susu), Kolor Ijo (melon dan soda susu), dan lainnya. Menu andalan warung es itu ya Es Pocong, rasanya lumayanlah, dan cukup murah. Letaknya tepat di depan Gang Sawo, jalan kecil menuju Stasiun Kereta UI, daerah Margonda juga. Kalau Anda naik kereta, turun saja di Stasiun UI, tanya saja nama warung tersebut, pasti banyak yang tau. Kalau naik Angkot atau bis umum, pastikan angkot atau bis umum tersebut lewat Margonda, sama bang supir atau kondektur minta diturunkan di Kober atau UI. Kalau masih bingung, tanya saja pada orang-orang sekitar.
Kedua, BAKSO MALANG CITRA, ini dia tempat favorit saya kalau mau nge-bakso (ala Malang). Tempat ini pernah direkomen oleh majalah Jakarta Jakarta (majalah jadul) juga. Tempatnya kecil, tapi gak berkesan sempit, letaknya di jalan Margonda dekat Gang Sawo, anak-anak UI banyak yang nge-bakso di sini. Namanya juga Bakso Malang Citra, baksonya pasti punya citra eh cita rasa sendiri, mau yang komplit ada, yang gak komplit juga ada, silakan pilih mau yang mana. Bagi yang tak suka bakso, Anda pun bisa pesan menu lain, seperti nasi goreng, mie goreng, dan lain-lain.
Ketiga, ZOE CAFE, letaknya tak jauh dari apartemen Margonda Residence, tempat si Ryan menghabisi korban-korbannya. Tempatnya sih lumayan bagus, pelayan-pelayannya masih fresh n' cakep-cakep, dan terlalu ramah menurut saya. Ada banyak jenis makanan yang ditawarkan di cafe ini, mulai dari steak, pisang keju, hingga nasi goreng dan sop buntut bakar, tapi itu mah biasa, ada beberapa jenis makanan atau masakan yang menjadi kekhasan dari cafe ini juga, yang bakalan tak ditemukan di tempat lain. Kalaupun Anda tak doyan sama menu mereka, Anda bakalan tetap betah tinggal di situ, kenapa? Cafe ini tempat asyik buat nongkrong. Tak heran kalau banyak anak-anak muda atau mahasiswa yang betah berjam-jam nongkrong di situ, meski cuma minum doang.
Zoe Cafe juga mengombinasikan antara tempat makan dan toko buku atau perpustakaan. Jadi, Anda bisa baca buku koleksi mereka sambil makan atau minum. Anda juga bisa beli buku jika berminat. Yang penting, Anda harus siap-siap bawa hepeng (duit maksudnya) yang cukup, karena harga makanan di situ lumayan mahal untuk ukuran kantong mahasiswa. Tapi perlu diingat, Zoe Cafe tak cocok buat keluarga, karena yang kongkow-kongkow di sana kebanyakan anak-anak mahasiswa yang sedang gaul. Tapi kalau penasaran, tak salah juga bawa keluarga, tak dilarang kok.
Keempat, Aceh Jezz Bubur. Tempat ini khusus menyajikan hidangan bubur jagung, semuanya serba jagung, namun punya cita rasa yang berbeda-beda. Tampilan warna tempat ini pun cenderung mencolok karena didominasi oleh warna kuning cerah sehingga memudahkan orang-orang yang berlalu-lalang untuk meliriknya. Anda pun jangan berharap akan dilayani oleh wanita-wanita sexy. Di Aceh Jezz Bubur, semua pegawainya laki-laki, mereka diseragamkan baju koko dan kopiah sehingga nuansa Islamnya begitu terasa. Perlu saya ingatkan pula, kalau Anda ingin berkunjung ke tempat ini jangan pas di jam waktu sholat, semua pegawai dan pemiliknya pasti sudah berangkat ke masjid. Untuk ibadah, mereka memang cukup disiplin.
Sistem yang dijalankan Chaidil, sang pemilik Aceh Jezz Bubur pun berbeda dengan penjual bubur lainnya. Kalau penjual bubur lain menerapkan konsep makan di tempat ataupun dibungkus, Chaidil lebih suka menerapkan sistem take a way (dibawa pulang). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tercampurnya pria dan wanita yang bukan muhrimnya. Selain itu, di tengah kondisi lalu lintas Depok yang rawan macet, sistem tersebut membuat pelayanan jadi lebih cepat dan efisien, apalagi lokasi kiosnya yang berada di pinggir Jalan Margonda yang macet. Lokasi Aceh Jezz Bubur tak jauh dari kawasan Pondok Cina.
Kelima, Bebek Goreng H. Slamet, bebek goreng di sini termasuk favorit saya. Daging bebeknya empuk dengan rasa mantap. Sambalnya juga oke. Harganya pun masih terjangkau walau sedikit mahal. Tapi tak apalah yang penting enak. Letak Bebek Goreng ala Solo ini tak jauh dari Hotel Bumi Wiyata, masih di Jalan Margonda. Dari arah Jakarta letaknya di sebelah kanan jalan bersisian dengan Hotel Bumi Wiyata, sebelum perumahan Pesona Khayangan Depok.
Sebenarnya masih banyak lagi kuliner yang ada di Margonda, ada Burger and Grill; The Old House Coffee, rumah tua Pondok Cina yang dijadikan sebuah kafe di depan Margo City; dan sebagainya. Perlu diketahui, rumah tua Pondok Cina tersebut diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 sebelum komunitas Belanda-Depok, yakni budak-budak Castelein dimerdekakan (1741). Versi sejarah lainnya menyebutkan bahwa rumah tua Pondok Cina dibangun pada 1841. Bangunannya didirikan dan dimiliki oleh seorang arsitek Belanda. Pada pertengahan abad ke-19 dibeli saudagar China Lauw Tek Lock dan diwariskan kepada putranya, Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang. Disebutkan pula bahwa rumah tersebut sempat menjadi tempat persinggahan Cornelis Castelein. Sebelum menjadi kafe, bangunan tersebut sempat diperuntukkan menjadi sekolah SDN Pondok Cina 1, sekitar 1970-an ke belakang. Kemudian kosong selama puluhan tahun karena sekolah pindah ke gedung baru.
0 comments:
Post a Comment