Sekitar 12 tahun yang lalu, kalau tak salah ingat sekitar tahun 2000, saya pernah berkunjung ke Pulau Nusakambangan. Kunjungan ke pulau tempat para napi kelas kakap itu diasingkan berbarengan dengan acara temu sejarah para guru-guru sejarah di Jawa Tengah, yang acaranya dipusatkan di Kota Cilacap, yang tak jauh dari Pulau Penjara tersebut.
Dalam acara itu, salah satu agendanya antara lain kunjungan wisata ke Nusakambangan. Nama Nusakambangan berasal dari kata Nusa Kembangan atau pulau bunga-bungaan, karena pulau tersebut banyak ditanam berbagai macam tumbuhan khas ritual budaya Jawa seperti tumbuhan wijayakusuma yang sejati. Bahkan Nusakambangan tercatat sebagai pertahanan terakhir dari tumbuhan wijayakusuma itu.
Nusakambangan juga memiliki beberapa peninggalan sejarah yang cukup penting seperti prasasti peninggalan zaman VOC dan benteng kecil peninggalan Portugis. Gua-gua alam pun terdapat pula di Nusakambangan, dan menjadi objek wisata yang banyak dikunjungi.
Pantai di Nusakambangan |
Nusakambangan juga memiliki beberapa peninggalan sejarah yang cukup penting seperti prasasti peninggalan zaman VOC dan benteng kecil peninggalan Portugis. Gua-gua alam pun terdapat pula di Nusakambangan, dan menjadi objek wisata yang banyak dikunjungi.
Sepanjang jalan yang saya lalui selama berkunjung ke pulau itu, saya banyak melihat perkebunan pisang cavendish. Saya tak tahu lagi apakah pisang-pisang tersebut masih tumbuh di pulau itu atau sudah tidak ada lagi.
Sebagai pulau tempat pengasingan para napi kelas kakap, di Nusakambangan berdiri beberapa lembaga pemasyarakatan (Lapas atau LP) bertingkat keamanan tinggi di Indonesia. Tentu tak afdol rasanya kalau berkunjung ke Nusakambangan kalau tak melihat penjara-penjara tersebut. Sepanjang jalan menuju Pantai Selatan Nusakambangan kita pasti melewati penjara-penjara itu, mulai dari penjara Johnny Indo dulu hingga mantan orang terdekat penguasa Orde Baru, Bob Hasan. Malah ada paket wisata yang menelusuri jejak pelarian Johnny Indo, semacam napak tilas Johnny Indo selama dalam pelariannya.
Perjalanan ke Nusakambangan dimulai pada pagi hari dari Pelabuhan feri Wijayapura di Cilacap ke Pelabuhan Sodong di Nusakambangan. Pelabuhan ini sebenarnya digunakan khusus untuk kepentingan transportasi keluarga dan pegawai serta narapidana. Lama perjalanan tak sampai 30 menit, sekitar 15 menitlah. Jarak Pelabuhan Cilacap ke Nusakambangan memang tak begitu jauh. Dari seberang Pelabuhan Wijayapura, Pulau Nusakambangan sudah terlihat sangat dekat, masih jauh jarak Parapat di pinggir Danau Toba ke Pulau Samosir.
Setiba di Nusakambangan, perjalanan dilanjutkan mengelilingi pulau dengan menggunakan bis kecil, berkunjung ke gua-gua alami tempat persembunyian tentara Jepang atau Belanda di masa lalu, melewati bangunan penjara yang panjang, hingga sampai di pantai pasir putih yang indah dan langsung menghadap ke arah Samudra Indonesia. Di sepanjang pantai, banyak ditemukan pedagang asongan, yang ternyata adalah para napi yang akan bebas.
Saya sempat berbincang dengan salah seorang dari mereka, kebetulan dia menawarkan seperangkat batu cincin yang dia asah di dalam penjara. Sang napi bercerita tentang dirinya, teman-teman, dan keluarganya. Katanya, dia berada di Nusakambangan karena pembunuhan yang dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Namun dia tak memerinci peristiwa pembunuhan tersebut. Selain dia tak mau mengungkit luka lama, dia ingin melupakan peristiwa itu. Saya pun tak ingin mendengar kisahnya itu, ada perasaan takut juga menghadapi seorang pembunuh. Namun sang napi yang sudah berusia sekitar 50 itu cukup ramah dan baik.
Dia juga bercerita tentang nasib para napi setelah bebas dari Nusakambangan. Katanya, banyak para napi yang tak diterima lagi oleh keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Mereka malah memilih tetap tinggal di Nusakambangan, berkarya dan berkumpul dengan teman-teman senasib tanpa ada yang mengungkit-ngungkit status mereka.
Si napi juga menambahkan, para napi di Nusakambangan, menjelang saat-saat bebas mereka, biasanya diberi kesempatan untuk mencari nafkah agar mereka memiliki uang untuk biaya hidup setelah menghirup udara kebebasan. Banyak cara yang mereka lakukan, mulai dari beternak, bercocok tanam, membuat benda-benda kerajinan, hingga menjual batu akik yang mereka asah sendiri di penjara. Para napi yang akan menghirup udara bebas sekitar tiga bulan lagi itu, diberi kesempatan keluar penjara untuk berdagang, pagi jam 7 mereka keluar, sore jam 5 mereka harus kembali lagi ke penjara.
Ketika saya tanya, "Apakah napi-napi itu tidak melarikan diri?". Sang napi menggeleng-geleng kepala, "Tak ada gunanya mereka lari, toh bakal tertangkap lagi. Kalau sudah tertangkap masa tahanan mereka akan ditambah lagi untuk beberapa tahun kemudian, percuma kan. Lagian, mereka juga bingung mau kemana selepas dari penjara. Di antara mereka banyak yang sudah ditolak oleh keluarga dan masyarakatnya". Saya pun hanya mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Tak lama, saya pun membeli dua batu akiknya yang kecil seharga Rp15.000. Lalu berlari-lari di pantai pasir putih yang indah sambil bermain-main dengan ombak yang datang dari arah Samudra Indonesia.
Sore harinya, saya pun kembali ke Cilacap dengan membawa sejuta kenangan tentang Nusakambangan.
Sebagai pulau tempat pengasingan para napi kelas kakap, di Nusakambangan berdiri beberapa lembaga pemasyarakatan (Lapas atau LP) bertingkat keamanan tinggi di Indonesia. Tentu tak afdol rasanya kalau berkunjung ke Nusakambangan kalau tak melihat penjara-penjara tersebut. Sepanjang jalan menuju Pantai Selatan Nusakambangan kita pasti melewati penjara-penjara itu, mulai dari penjara Johnny Indo dulu hingga mantan orang terdekat penguasa Orde Baru, Bob Hasan. Malah ada paket wisata yang menelusuri jejak pelarian Johnny Indo, semacam napak tilas Johnny Indo selama dalam pelariannya.
Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan saat ini. |
Setiba di Nusakambangan, perjalanan dilanjutkan mengelilingi pulau dengan menggunakan bis kecil, berkunjung ke gua-gua alami tempat persembunyian tentara Jepang atau Belanda di masa lalu, melewati bangunan penjara yang panjang, hingga sampai di pantai pasir putih yang indah dan langsung menghadap ke arah Samudra Indonesia. Di sepanjang pantai, banyak ditemukan pedagang asongan, yang ternyata adalah para napi yang akan bebas.
Saya sempat berbincang dengan salah seorang dari mereka, kebetulan dia menawarkan seperangkat batu cincin yang dia asah di dalam penjara. Sang napi bercerita tentang dirinya, teman-teman, dan keluarganya. Katanya, dia berada di Nusakambangan karena pembunuhan yang dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Namun dia tak memerinci peristiwa pembunuhan tersebut. Selain dia tak mau mengungkit luka lama, dia ingin melupakan peristiwa itu. Saya pun tak ingin mendengar kisahnya itu, ada perasaan takut juga menghadapi seorang pembunuh. Namun sang napi yang sudah berusia sekitar 50 itu cukup ramah dan baik.
Dia juga bercerita tentang nasib para napi setelah bebas dari Nusakambangan. Katanya, banyak para napi yang tak diterima lagi oleh keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Mereka malah memilih tetap tinggal di Nusakambangan, berkarya dan berkumpul dengan teman-teman senasib tanpa ada yang mengungkit-ngungkit status mereka.
Si napi juga menambahkan, para napi di Nusakambangan, menjelang saat-saat bebas mereka, biasanya diberi kesempatan untuk mencari nafkah agar mereka memiliki uang untuk biaya hidup setelah menghirup udara kebebasan. Banyak cara yang mereka lakukan, mulai dari beternak, bercocok tanam, membuat benda-benda kerajinan, hingga menjual batu akik yang mereka asah sendiri di penjara. Para napi yang akan menghirup udara bebas sekitar tiga bulan lagi itu, diberi kesempatan keluar penjara untuk berdagang, pagi jam 7 mereka keluar, sore jam 5 mereka harus kembali lagi ke penjara.
Ketika saya tanya, "Apakah napi-napi itu tidak melarikan diri?". Sang napi menggeleng-geleng kepala, "Tak ada gunanya mereka lari, toh bakal tertangkap lagi. Kalau sudah tertangkap masa tahanan mereka akan ditambah lagi untuk beberapa tahun kemudian, percuma kan. Lagian, mereka juga bingung mau kemana selepas dari penjara. Di antara mereka banyak yang sudah ditolak oleh keluarga dan masyarakatnya". Saya pun hanya mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Tak lama, saya pun membeli dua batu akiknya yang kecil seharga Rp15.000. Lalu berlari-lari di pantai pasir putih yang indah sambil bermain-main dengan ombak yang datang dari arah Samudra Indonesia.
Sore harinya, saya pun kembali ke Cilacap dengan membawa sejuta kenangan tentang Nusakambangan.
0 comments:
Post a Comment