Beberapa tahun lalu ketika mampir dan bermalam di Mannheim City, Jerman. Saya sempat berkenalan dengan seorang perempuan, namanya Nissa. Nissa adalah anak dari ponakan pemilik perusahaan tempat saya bekerja. Penampilan Nissa sama seperti perempuan-perempuan Indonesia lainnya, sederhana, berkerudung, dengan busana keseharian yang santai. Nissa sedang melanjutkan studi S3-nya di sebuah universitas di Bochum-Jerman, jurusan Elektro. Usianya waktu itu baru 24 tahun.
Jarak antara Bochum dengan Mannheim City lumayan jauh, sekitar 147 miles atau 236.52 km. Nissa menempuhnya dengan menggunakan kereta. Pagi itu, ketika breakfast di Holiday Inn - Mannheim City, Nissa sudah nongol di tempat saya menginap tersebut. Dia mendapat titipan rendang dari orang tuanya di Bandung. Maklum saja, selama di Jerman, Nissa kesulitan mendapatkan makanan khas Sumatra Barat itu.
Selama breakfast, saya belum punya kesempatan ngobrol dengan Nissa. Dia masih asyik melepas rindu dengan neneknya, pemilik perusahaan tempat saya bekerja tadi. Kesempatan ngobrol dengan Nissa baru kesampaian siang harinya, saat berada di International Book Fair di Frankfurt. Kebetulan, Nissa diajak ikut serta pula mengunjungi pameran buku terbesar sedunia tersebut.
Hal pertama yang saya tanyakan adalah tentang kerudungnya, apakah dia pernah bermasalah dengan busana muslimnya selama berada di Jerman. Nissa menjawabnya dengan gamblang, dia tak pernah menemukan kesulitan, teman-teman maupun dosennya bisa memaklumi dan lebih toleran terhadap apa yang dia pakai. Kemudian saya pun bertanya-tanya tentang proses mendapatkan beasiswa, kiat-kiat mendapatkannya, hingga pengalamannya ketika berada di Jerman.
Sebagai staf pengajar di almamaternya ITB, Nissa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3 atas beasiswa dari pemerintah Jerman (DAAD). Nissa juga termasuk lulusan termuda dan terbaik di kampusnya, ITB. Jenjang S2 pun langsung ditempuhnya di kampus yang sama. Jadi tak heran, kalau di usia 24 Nissa sudah mampu melanjutkan S3-nya. Dalam waktu enam bulan, Nissa sudah mampu menguasai bahasa Jerman dengan pasih.
Bertemu dan berdiskusi dengan Nissa membuat saya makin kagum dengan perempuan-perempuan Indonesia. Nissa saya anggap sebagai representasi perempuan-perempuan hebat yang dimiliki negeri ini. Selain Nissa, tentu masih banyak lagi perempuan hebat lain, yang berjuang di negeri orang. Mereka berjuang tak hanya demi pendidikan dan karir mereka, mereka juga berjuang demi menghidupi keluarga mereka di tanah air. Mereka rela jadi tenaga kerja di negeri orang demi upah yang tak bisa mereka dapatkan di negeri sendiri. Bahkan di antara mereka seringkali mendapat perlakuan tak manusiawi dari majikan mereka.
Saat ini, saya tak lagi pernah mendengar kabar tentang Nissa, apakah dia masih mengajar di almamaternya, atau telah berada di tempat lain. Pertemuan yang terjadi di Jerman itu merupakan pertemuan pertama sekaligus yang terakhir. Nissa pamit hari itu juga untuk kembali ke Bochum. Saya sangat berharap, Indonesia banyak melahirkan perempuan-perempuan seperti Nissa, yang mandiri, cerdas, dan mampu bertarung di negeri orang, demi kemajuan Indonesia di masa depan.
Catatan:
Tulisan ini pernah saya posting di Kompasiana:
http://muda.kompasiana.com/2011/08/19/perempuan-perempuan-hebat-di-negeri-orang/
0 comments:
Post a Comment