MEDAN, SETELAH SEWINDU DITINGGALKAN

.
Libur lebaran kemarin, akhirnya saya pulang juga ke kampung halaman, Medan. Kalau dihitung, sudah sewindu atau delapan kali lebaran saya tak pulang-pulang. Kata teman-teman, ketakpulangan saya itu sudah mengalahkan rekornya Bang Toyib, yang sudah tiga kali lebaran tak pulang-pulang. Dalam kurun waktu delapan tahun itu, saya pikir Medan tak begitu banyak berubah. Nyatanya, Medan berubah sama sekali. Jalanan banyak yang baru, yang simpang siur dan melintang di jalan-jalan yang lama.

Jalanan di pinggiran kota yang dulunya banyak melalui sawah-sawah dan hutan-hutan kecil, kini tak ditemukan lagi, semua berubah menjadi pemukiman penduduk atau perumahan, ruko-ruko, dan mal. Pertumbuhan mal atau pusat perbelanjaan hingga tempat-tempat hang out pun tak kalah hebatnya. Pusat-pusat kuliner di malam hari pun makin banyak dan berkembang, ada Kesawan Square dan Merdeka Walk contohnya. Jalanan di kota Medan pun buat saya pangling padahal dulunya saya begitu hapal setiap sudut jalan di kota Medan. Maklum saja, dulu saya disebut sebagai pelalak atau orang yang suka jalan kemana-mana atau melalak istilah orang Medan. Saya jadi seperti orang asing di kampung sendiri.

Kebun Binatang atau Taman Margasatwa Medan pun sudah berpindah tempat, dulunya di daerah Kampung Baru, tak jauh dari sekolah SMA saya dulu, kini berpindah tempat ke Jalan Bunga Rampe IV Nomor 100 Medan Tuntungan. Sedangkan Taman Ria (Dufannya Medan) dan Medan Fair (Taman Mininya Medan) sudah tidak ada lagi, sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan yang bernama Plaza Medan Fair. Bioskop-bioskop seperti Juwita, Medan Fair Teater, City Plaza, Deli Teater, dan Olympia, yang dulu suka muter film-film biru alias bokep pun sudah lenyap tak berbekas, berganti dengan ruko-ruko. Saya juga suka heran, kenapa dulu bioskop-bioskop tersebut bisa leluasa muter film-film rating xxx (triple x) ya. Kalau ingat zaman SMA dan kuliah dulu, saya pun jadi mesem-mesem sendiri. Soalnya, sekali dua kali saya sempat masuk ke gedung bioskop yang saya maksudkan tadi hehehe (buka rahasia akhirnya ahaa).

Namun, ada juga yang tak berubah, Bandara Internasional Polonia, masih seperti dulu, tak sebagus bandara-bandara lain yang setara, seperti Bandara Juanda-Surabaya, Minangkabau-Padang, dan Adisucipto-Yogya. Polonia masih terkesan semrawut dan tak tertata rapi. Untunglah tahun 2013 besok, Medan akan punya bandara baru, namanya Bandara Kuala Namu, yang berlokasi di Kuala Namu, Desa Beringin, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Lokasi Bandara Kuala Namu merupakan bekas areal perkebunan PT. Perkebunan Nusantara II Tanjung Morawa. Bandara baru ini juga disebut-sebut sebagai bandara yang terbesar setelah Soekarno-Hatta Jakarta. Bahkan bakal diadu dengan Kuala Lumpur International Airport dan Changi di Singapura. Kalau dilihat dari sket-sket yang dipampangkan di Bandara Polonia, Kuala Namu memang pantas disebut sebagai bandara internasional yang tak kalah dengan bandara negeri tetangga tersebut. Letak landasan pacunya pun tak jauh dari Selat Malaka, ini mengingatkan saya dengan landasan pacu Bandara Ngurah Rai di Bali, yang berada di bibir pantai.

Selain Polonia, pajak Simpang Limun pun tak banyak berubah, tetap kumuh dan makin kotor. Istilah “pajak” digunakan orang Medan untuk menyebut pasar. Sedangkan istilah “pasar” digunakan orang Medan untuk menyebut jalan raya. Pajak Simpang Limun ini letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggal saya di Medan.

Untuk urusan transportasi, Anda jangan berharap banyak akan seperti di Jakarta yang memiliki busway dan KRL atau seperti di Yogyakarta yang memiliki TransYogya. Di Medan, transportasi andalannya (selain angkutan umum dan taksi) adalah becak mesin. Hampir sepanjang jalan di Kota Medan Anda akan menemukan becak mesin. Transportasi ini menurut saya adalah sarana yang efisien untuk menjangkau seluruh wilayah Kota Medan. Selain lebih murah daripada taksi, Anda juga bisa cepat sampai di tujuan karena becak mesin di Medan bisa melaju kencang seperti ngejar setoran. Teman saya Andros bahkan takut naik becak mesin ini karena suka kencang hingga buat jantungnya berdebar-debar. Meskipun demikian, kalau ke Medan, becak mesin tetap saya rekomendasikan untuk Anda sebagai sarana transportasi yang efisien dan cepat.

Kalau ditanya, kenapa saya rekomendasikan becak mesin? Ada keunikan dan kenikmatan tersendiri kalau naik becak mesin tersebut, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Anda akan merasakannya kalau Anda langsung mencobanya sendiri. Becak mesin di Medan merupakan hasil modifikasi becak dayung yang diganti dengan motor sebagai penggeraknya. Pengemudi becak mesin berada di samping atau bersisian dengan penumpang, berbeda dengan becak di Jakarta dulu dan di Yogya, pengemudinya berada di belakang penumpang.

Sebagai kota terbesar ke-3 setelah Jakarta dan Surabaya, perkembangan Kota Medan setelah sewindu saya tinggalkan memang cukup pesat. Sayangnya, kota tempat lahirnya Kerajaan Melayu Deli itu tetap berkesan semrawut, tak tertata, dan padat. Itulah yang saya rasakan ketika mudik lebaran kemarin.

Catatan:

Tulisan ini pernah saya posting di Kompasiana

2 comments:

  1. asiknya yang pulang kampuuuunngg...
    wisata makannya mana, mas? kan banyak makanan enak di medan tuh! posting dooonng...
    saya tunggu yah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku gak sempet wisata kuliner fau, cuma 4 hari di medan, utk silaturahmi ke sodara aja msh kurang hehe

      Delete